Pengantar

Sebenarnya pikiranku masih terus menerka-nerka tentang yang terjadi belakangan ini. Meski masih sulit memahaminya karena seringkali diselimuti emosi yang mudah tersulut begitu saja. Aku mulai menimang apa yang akan aku katakan pada mereka yang bertanya. Ada dua orang yang sudah tahu isi pikiranku selain kedua orang tuaku. Keduanya adalah sahabatku, bedanya adalah salah satu dari mereka akan menyampaikan argumenku pada siapapun yang berpotensi ingin mengetahuinya juga. Setidaknya aku sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk dalam menghadapi situasi ini.


Jika menelisik ke dalam, soal kondisi keluarga besarku; rasanya aku frustasi hanya dengan membahasnya. Bagaimana mungkin disebut keluarga jika kondisinya seperti ini. Lebih senang melihat saudara lainnya menderita, bukan malah melindunginya dan saling mendukung. Ironisnya ini tidak hanya berlangsung sekali dua kali. Hal ini berlanjut dengan pola yang sama. 


Tidak ada yang benar-benar benar, semuanya memiliki sisi salah. Gelap mata, sulit melihat dan menentukan urusan mana yang harus diprioritaskan. 


Maunya bebas hanya memikirkan diri sendiri dan keluarga inti saja. Tapi lupa bagaimana caranya menutup mata dan menutup telinga. Banyak akses untuk tahu, selalu ada celah untuk ikut memikirkannya juga.


Bagaimanapun segala sesuatu yang berlebihan tidak akan baik bagi siapapun. Memikirkannya dalam porsi sekedar saja rasanya memuakkan, dan aku tak ingin berlagak menyelesaikan semuanya dan berharap kondisinya akan menjadi baik seperti semula. Tidak akan. 


Malam ini aku tercerahkan dengan pikiran; keputusan terbaik dalam menghadapi ini adalah "diam saja" jika tidak ditanya, dan mengeluarkan argumen dari sisi positif dan menyadari bahwa diri sendiri belum tentu baik dari apa yang dibicarakan, menyadarkan diri bahwa aku belum sampai tahap sana dan terlalu riskan untuk menyampaikan pendapat, sedangkan kita tidak tahu apa yang akan terjadi di depan. 


Aku tidak perlu mendengarkan siapapun, tidak butuh membenarkan dan menyalahkan argumen manapun, tidak dituntut membuktikan apapun. Tidak, itu bukan tugasku. Sebab waktu akan mengambil alih semuanya, dengan atau tanpa kita minta. Mari sudahi ini dan fokus pada apa yang bisa dilakukan.


Dari kejadian ini aku belajar bahwa menikah itu bukan hanya hubungan antara kedua pihak keluarga inti, tapi juga seluruh keluarga. Aku dapat gambarkan bahwa restu itu penting. Restu ibu memang yang utama, tapi butuh dukungan restu dari yang lain juga. Termasuk keluarga besar, orang-orang yang menyayangimu dan semua orang yang peduli padamu. Jika ada salah satu dari mereka yang tidak merestuinya maka itu bukan salahnya tapi tantangan dalam perjalanan menuju ke sana (re: pernikahan). Selanjutnya, upaya yang harus dilakukan adalah menunggu restunya dengan tabah diiringi usaha untuk memberi yakin bahwa pilihanku sudah kupertimbangkan dengan matang, tidak hanya urusan perasaan tapi hal-hal lain yang berkaitan dengan langkah-langkah berikutnya. Terus mendatanginya dengan sabar dan tidak tergesa. Sekali lagi kutegaskan bahwa restu itu penting.


Eh tapi, memang akan sulit mendengarkan pendapat jika sedang jatuh cinta. Aku memikirkannya kembali, sedangkan sekeras-kerasnya aku berpikir hanya Allah yang maha Melindungi. Semoga Allah menjaga dan Melindungiku dari semua hal yang akan membuatku rugi, Semoga Allah selalu menuntun jalanku menuju jalan yang terbaik menurut-Nya. Sesungguhnya aku berlindung pada Allah atas keputusan-keputusan yang khilaf dan Allah adalah sebaik-baiknya pelindung. Semoga aku dipertemukan dengan jodoh yang pikirannya terbuka dan takut kepada Allah. Aamiin yaRabbal'alamiin.


Terima kasih kepada pembaca yang ikut mengAamiinkan juga. Sampai jumpa di lembaran berikutnya ._.





Komentar

Postingan Populer