Marah

Setiap orang memiliki hak untuk marah, sebab marah masih tergolong emosi manusia. Namun yang sering menjadi perdebatan adalah tidak semua ekspresi marah bisa diterima. Tentu saja setiap orang memiliki ciri khas sendiri untuk mengekspresikan marahnya. Namun jenis marah yang paling tidak bisa kuterima adalah marah di status. Di platform manapun, setiap mengekspresikan marah di status, dampaknya selalu tidak baik dalam sudut pandangku. Dampak paling simple adalah masalahnya tidak selesai hanya dengan membuat status. Apa marahmu bisa mereda juga hanya dengan membuat status? Memaki, menunjukkan kemarahan kita di depan orang yang bersangkutan, harusnya bisa lebih memuaskan bukan? Lalu kenapa tidak memilih itu?


Jelas aku tidak setuju dengan pemahaman menghindari marah dengan pergi begitu saja, tapi gembar gembor dan memaki-maki di sosial media. Hal itu bukan cara yang bisa diterima, bukan menghindari marah, tapi malah memperpanjang masalah. Tidak ada yang selesai bukan?


Beda ceritanya jika benar-benar menghindar untuk melepaskan diri dari marah, menjauh selamanya sebentar, setelah itu diam, merenungi sisi yang membuatmu marah, tidak menceritakannya dulu, sebelum kamu benar-benar paham sama masalahnya dari berbagai sudut pandang. Jika marahmu sudah mereda, lepaskan perasaan marahnya sedikit lagi. Agar hatimu juga ringan, langkahmu padu dan bebanmu berkurang.




Nah, masalahnya bisa diputar balikkan. Kedua kubu bisa saling merasa tersakiti; yang satu tersakiti karena sesuatu yang menyebabkan marah, yang lainnya merasa tersakiti karena kata-kata yang ia pilih untuk marah di sosial media. Terjadilah perebutan kursi "korban". Berlomba-lomba menjadi korban dan paling tersakiti untuk mendapat simpati. Sebab bisa saja hanya dari satu status atau unggahan menanamkan kebencian serupa tanpa mereka sadari. Kadang dalam urusan ini, pertemanan perempuan itu lebih solid. Temannya bisa membenci orang lain hanya karena ia membuat temannya marah. Aduhai, pertemanan jenis apa itu? 



Komentar

Postingan Populer