Cerita Patah Hati

Nyatanya menghadapi patah hati tak selalu mudah ya?
Dalam prosesnya diwarnai drama nangis-nangis, susah tidur, hati juga nyesek. Jika saja seperti handphone yang bisa disetel ulang, kalo tahu akan gini gak bakal rela naruh hati sampe sejauh ini.

Dari banyaknya teori dan pendapat tentang patah hati, aku percaya ada enam tahapan patah hati, diantaranya; shock, denial, anger, bergaining, depression, accaptance. Ceritaku kali ini tentang patah hati karena kenyataan yang tak sesuai harapan dalam hubungan antara perempuan dan laki-laki. Sampai saat ini, dalam urusan ini aku mengalami lebih banyak patah hati dibanding senengnya. Kadang, justru perasaan seneng itu tertutup oleh kejadian berikutnya yang membuat patah hati.

Saat aku menulis ini, hari ini sudah waktu ke sekiannya aku masih terperangkap dengan orang yang sama. Sebelum ini, memang pernah mengalami waktu yang lebih lama, aku menghabiskan waktu sekitar sembilan tahun untuk mengagumi seseorang dan sulit move on karenanya. Sekarang, waktunya barangkali lebih singkat, tapi sakitnya masih sama. Tepat dibagian ruang 'percaya' dalam hati. 

Aku merasa bahwa aku sudah ada di tahap accaptance; aku bisa menerima bahwa kenyatannya dia memilih orang lain. Mungkin karena hidupku tak seperti dirinya. Rasanya memang sulit, untuk ada di tahap ini, awalnya gak nyangka kalo dia ternyata menjalin hubungan dengan orang lain, pernah beberapa kali menyangkalnya, berharap aku salah paham, sampai suatu hari ia salah mengirim pesan kepadaku, barulah aku menyadarkan diri bahwa dia memang sudah menjalin hubungan dengan orang lain. Menyelesaikan tahapan denial, aku sampai menangis sesegukkan, merasa kalo dia mengkhianatiku (padahal hubungannya denganku hanya sebatas teman cerita). Aku menganggap bahwa ia jahat, sama sekali tak memikirkan perasaanku, tak peduli dengan apapun yang ada padaku. Sekarang aku tahu bahwa saat itu aku ada di tahap marah. Memang begitu adanya, marah campur sayang. Pada tahap ini aku hanya mengalaminya sebentar, marahku padanya tak berlangsung lama, aku merasa membutuhkannya dan setelah itu aku menyesal karena marah padanya.

Selanjutnya karena aku merasa membutuhkannya, aku masih mau bertukar cerita dengannya, mendengarkan kisahnya dan saling bertukar pikiran. Aku pernah mencoba cara lain, berharap ia bisa peduli lagi padaku dan rela menjalani semua hal denganku lagi seperti sebelumnya atau bahkan lebih, tapi kenyataannya yang berlebih-lebihan itu tak selalu baik, dan mengharapkannya juga berarti menanam kecewa.

Suatu malam aku begitu mengkhawatirkannya, entah perasaan itu dari mana. Rasa itu hadir begitu saja mengusik malam tenangku. Aku sulit menghentikannya kemudian aku memberanikan diri untuk bilang padanya bahwa aku menyayanginya sebagai apapun aku di hidupnya. Setelah itu aku masih tetap gelisah, tak kunjung mata ini terlelap untuk tidur. Setelah itu tak lama dari aku mengirim pesan darinya aku mendapati kabar bahwa senior yang berarti dalam perjalanan kuliahku 'berpulang', setelah aku dan teman-teman yang lain baru selesai menjenguknya di rumah sakit. Itu adalah untuk terakhir kalinya aku bertemu dengannya di dunia ini. Aku nangis. Kejer. 

Saat aku mencari tahu kebenaran informasi yang kudapat, aku juga menemui kenyataan yang lain. Dalam akun sosial milik dia (orang yang kukagumi), ada IGS yang menampilkan gambar boomerang ia dengan kekasihnya. Padahal sebelum aku melihat ini aku mengkhawatirkannya begitu hebat, kemudian aku menyatakan pengakuan perasaan sayangku padanya, tapi kenyataan yang kudapatkan terasa begitu pahit.

Malam itu aku tak bisa mendeskripsikan perasaan sakitnya.

____________

Bahkan menceritakannya saja tak mudah, aku harus tidur dulu untuk melanjutkan cerita ini.

____________

Oke, lanjut...

Sialnya perasaan sayang itu memang tulus adanya. Egoku yang meminta bahwa ia harus berbalas dan tak mau sendirian. Setelah sadar ini, kemudian aku berusaha menyembuhkan luka. Begitu sering aku merasa bahwa lukaku berangsur sembuh untuk pulih. Kemudian beberapa malam aku mulai merindukannya. Aku menanggapinya dengan wajar, barangkali karena sebelumnya aku sering bercerita padanya, dan ia adalah orang yang pertama aku cari saat dihadapkan apapun. Wajar sekali jika aku merindukannya.

Kini aku sudah terbiasa lagi untuk tak bercerita padanya dan pada siapapun tentang kegaduhan di kepala, atau hal-hal baru yang kutemui. Tidak mudah memang, sangat sulit. Namun saat kukira lukanya pulih, ternyata pas liat post instagram story dia dengan kekasihnya, aku tetep nangis. ----oh, ternyata lukanya belum sepenuhnya pulih. Mungkin aku masih butuh waktu :')

Komentar

Postingan Populer