Aku dan Mama

Ps. Kalo mau baca sambil dengerin lagu, disarankan dengerin lagunya Banda Neira yang judulnya "Di Beranda", aku menulis ini diiringi lagu itu juga. 


Fav.Human

Aku mencium tangannya, kemudian ia menarikku dalam pelukkannya. Tangannya membelai kepalaku, kemudian ia membisikkan mantra yang selalu dirapalkan sepanjang pagi dan malam, atau justru lebih banyak dari yang kutahu.

“jug.. sing kapipit hasilnya, sing kaala buahna. Sing gede milik, gede darajat. Sing loba anu welas anu asih.” ucapnya lirih di telingaku.

Aku mendengarnya khidmat dan mengaamiinkan dalam hati. Kemudian aku memeluknya semakin erat dan ia mengusap lagi kepalaku. Rasanya aku selalu ingin menangis saat hal ini terjadi, tapi aku tak bisa menangis di depanya. Aku juga tak ingin ia melihatku menangis saat akan pergi. Semampu yang aku bisa, aku menahan tangis dan biasanya tangisan itu pecah saat aku di motor dan termenung di angkot. Tanpa pernah peduli tentang orang yang memperhatikanku, aku tetap menangis. 

Setiap kepergian selalu mengikat kehampaan bagi para pelakunya, ada sesuatu yang tak ditemukan lagi. Semenjak merantau tahun 2014 lalu, aku selalu merasakan haru biru saat akan berangakat. Meskipun aku sudah beberapa kali pergi, tetap saja rasanya selalu sama. Aku belum mengerti sepenuhnya tentang perasaan yang ada dalam dada mama saat aku meninggalkannya. Tapi mama tak pernah mengijinkanku pergi sebelum ia menyiapkan timbel (nasi yang dibungkus daun pisang). Kebiasaan yang tak pernah hilang, mungkin baginya itu adalah hal yang bisa mengurangi sedikit rasa khawatirnya. Setidaknya saat anaknya nyampe sudah dipastikan bahwa ia akan makan.

Mama selalu bertanya aku ingin makan apa, sayangnya dari kecil aku juga diajarkannya untuk tidak memilih-milih makanan. Jadi aku tak pernah mengajukan ingin makan sesuatu, prinsipnya adalah yang ada dimakan, kalo gak ada ya jangan memaksakan. Saat ini mungkin kepuasan bagi dirinya adalah saat bisa memasak apa yang anak-anaknya mau.

Semenjak tinggal jauh dari orang tua, rasanya perasaan sayang yang dimiliki semakin terasa. Apa seseorang harus jauh dulu supaya bisa merasakan perasaan sayang yang ada pada dirinya? ah, kita tidak pernah tahu yang terbaik sebelum sesuatu itu terjadi. Katanya kesempatan itu hanya datang pada mereka yang terbaik. Jika aku boleh meminta banyak, aku mau membahagiakan ia di dunia dan akhirat. Tentang ini jadi inget percakapan antara aku dan mama sore itu. Kami sedang bercerita random dan aku punya kesempatan untuk bertanya padanya tentang pernikahan. Kira-kira begini,

“Mama… kalo nanti pas Eva nikah, hanya akad dan resepsi yang sederhana gimana?”

“Mau ngapain  gitu?” nadanya agak tinggi.

Aku tak berani melanjutkan percakapan itu, hanya saja aku jadi tahu bahwa bagi orang tua, acara pernikahan itu harus sesuai adat dan meriah, selain sebagai ajang untuk silaturahmi keluarga, acara itu juga sebagai wujud rasa syukur karena melepas tanggung jawab yang dulu Allah titipkan pada mereka. Aku juga ingin mengikuti keingannku untuk menikah secara sederhana, mungkin hanya akad dan acara makan. Tapi itu bertentangan dengan apa yang orang tua mau. Tentang pembagian dana untuk acara pernikahan, tentang mahar yang harusnya diajukkan. Sepertinya mereka memiliki standar tertentu, ah tapi lebih dari itu, saat aku di posisiku saat ini juga merasa harus memantaskan diri untuk segala sesuatu yang lebih baik.

Setelah mama berbicara panjang lebar, ia memberiku ketenangan saat mengucapkan,
“…kan bukan maksud untuk apa-apa, kalo ada rezekinya ya gapapa sekalipun harus hajat besar juga.”

Jadi aku menginginkan pernikahan yang sederhana, tapi aku sangat menyayangi orang tuaku. Aku akan mengikuti apapun yang mereka mau, selama tidak bertentangan dengan agama. Barangkali itu adalah saat terakhir aku nurut dengan kedua orang tuaku, karena setelah akad, ada yang lebih wajib aku turuti.

Komentar

Postingan Populer