Djakarta
Pagi ini aku ingin bercerita tentang ibu kota yang membuatku jatuh cinta. Perjalanan hidup yang aku jalani di kota ini; tentang apa yang aku lihat dan aku rasa membuat aku memaknai hidup. Semua hal kontradiktif yang ada di kota ini, membuat aku berdecak kagum sekaligus meringis miris.
Terlalu banyak orang kaya dan berkecukupan, tapi banyak juga orang yang dikategorikan kurang mampu. Sebagian hidup di istana, seperti di negeri dongeng, tapi yang lain masih beratapkan langit dan beralaskan tanah.
Ibu dari negara ini kurang adil, jika kita memandang dari sudut strata masyarakat. Beberapa anak yang beruntung adalah mereka yang diperlakukan seperti anak raja, tidak boleh lecet sedikitpun. Juga ada beberapa anak yang masih kecil, tapi sudah harus memerankan orang dewasa, jarang memikirkan apa yang dia mau. Terkadang untuk memenuhi kebutuhannya masih harus pontang panting.
Tak ada yang membuat aku kagum melebihi kekagumanku pada anak-anak yang tabah. Menjalani hidup ini dengan suka rela, melakukan apa yang mampu dia lakukan. Berjalan tanpa alas dan tetap tersenyum dengan alasan-alasan yang sederhana.
Ulah dari pelaku-pelaku kejahatan, seperti pencopet, peruntuh mental, pembuly, pengkhianatan dan kepura-puraan, semua hal itu sering sekali membuat aku risih. Terlalu banyak orang yang berpura-pura di kota ini. Pemeran yang cerdik dan bagus, membuat siapapun yang berhubungan langsung dengan orang yang bersangkutan tertipu.
Tak jarang para pengemis di jalanan, menawar untuk diberi. Belum lama ini, aku lewat di depan MOI (Mall Of Indonesia). Kutemui seorang kakek tua yang duduk dengan posisi kakinya diluruskan ke depan. Hati kecilku merasa iba, kemudian memunculkan beberapa pertanyaan,
"Apakah bapak ini sudah makan?"
"Kemana anak-anaknya sampai bisa dia terlantar seperti itu..?"
Kemudian, pikiranku menyimpulkan untuk mengajaknya makan. Mungkin akan menyenangkan bisa makan berdua dengannya, sekaligus bercerita tentang sudut pandangnya mengenai kota ini. Jadilah aku menghampirinya.
"Bapak sudas makan...?" Tanyaku
"Kalo makanan sudah banyak neng..." jawabnya sambil mengarahkan pandangannya ke pelastik putih yang ada di sampingnya.
Nah, loh. Di kota ini, bahkan semua orang punya pilihan. Bebas menentukan pilihannya. Para tuna wisma saja bisa memilih untuk menolak orang yang mau memberinya makan, lucu ya. Intinya si kakek itu hanya ingin diberi uang.
Rasanya, wacana tentang pengemis, orang-orang yang tidak memiliki tempat tinggal dan yang selalu ada di jalanan itu hanyalah peran yang dia pilih untuk dimainkan. Hidup ini, soal memainkan peran masing-masing. Tergantung pada diri sendiri mau memainkan peran seperti apa. Anak yang baik, anak yang nurut, pembangkang, manusia yang banyak pura-pura, dan masih banyak lagi. Apapun peran yang mau dipilih, kita harus memilih yang terbaik, karena Allah tidak akan mengubah nasib mahluknya, kecuali dia sendiri yang mengubahnya. Tugas kita hanya tetap berusaha.
Komentar
Posting Komentar