Dilematis Jarak

Sore di minggu menuju senja dihiasi rintik hujan yang mendamikan. Rasanya aku ingin sekali bersahabat dengan keadaan, berjalan seolah-olah semuanya baik-baik saja. Tapi aku terdiam lagi, merenungi semuanya. Tentang hidup yang aku jalani dan tentang jarak. Aku semakin berjarak dengan kedua orang tuaku setelah memutuskan untuk tinggal di Jakarta. Tahun pertama dan kedua aku sangat menikmati rindu, selalu menantikan pertemuan yang selalu indah. Di tahun ke tiga aku semakin tak bersahabat dengan rindu, beberapa kesempatan rindu itu hadir tanpa aku mengundangnya. Selalu ingin bertemu, bahkan hanya sekedar melihat wajahnya. Selalu ingin terus di dekatnya, merasakan kasih sayangnya yang begitu tulus. 

Aku menanam rindu di atas jarak dan aku pupuk dengan Kasih sayang yang tulus, bahkan sesekali aku memberinya pupuk kegetiran supaya menjadi cambuk buat aku, agar aku cepat menyelesaikan semuanya. Terkadang aku bosan dengan jarak, aku ingin merobeknya dan mencabiknya. Sialnya adalah ketika aku marah pada jarak aku semakin dikuasai rindu. 

Sesekali aku begitu iri sama orang yang bisa terus bersama orang tuanya, dia bisa selalu berbakti kepada keduanya dengan tindakan, bisa melihat sepuasnya dan semau-maunya. Sebanyak mungkin juga aku bersyukur karena jarak aku menjadi sosok yang selalu dirindukan dan dinantikan kehadirannya. 

Kadang aku tak berdaya ketika ingin berjumpa. Aku selalu berharap ketika raga aku tak sampai tapi do'aku selalu sampai untuk mereka orang terkasih yang dianugrahkan Tuhan dalam hidup aku. 

Komentar

Postingan Populer